Agenda 

Sarto dan Wajah Rupiah

Ajun Nimbara, pria kelahiran Sumenep, Madura, 22 tahun lalu. Tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Pelangi Sastra Malang. Cerpen-cerpennya tergabung dalam antologi Secangkir Kontradiksi (2015), Orang-orang dalam Menggelar Upacara (2015). Tulisannya dimuat di beberapa media lokal dan nasional, seperti Harian Republika, Radar Malang, Malang Post, Sediksi, LPM SIAR, dll.

 

Sarto menghela nafas melihat lembaran kuning berisi identitas dan stempel itu. Dua bulan sudah ia tidak membayar iuran sekolah. Di bilik kamar, batuk dahak emaknya semakin parah. Badannya ringkih dan terbaring di atas dipan tanpa aktivitas. Sesuai janji Sarto pada emaknya, dia akan terus sekolah walau krisis terus melanda hidup mereka.

Pasar begitu ramai di akhir pekan. Transaksi, negosiasi, dialektika dan silat lidah terjadi antara penjual dan para pembeli yang saling berdatangan. Sarto dengan baju lusuhnya telah siap dengan segala mental dan resiko yang akan dihadapinya. Ekspresinya tetap tenang. Ia mengitari hiruk pikuk pasar, menyesap ke tengah ingar bingar, dan menilik mulut-mulut yang saling berbincang. Ia kembali berputar, merangsek orang-orang yang sedang berdiri tegang, dan keluar dengan sekepal ratus ribuan. Sarto berhasil membawa pulang secercah kehidupan dengan tangan panjangnya yang lihai.

Sarto kembali merogoh dompetnya yang lusuh dan menguarkan bau hangus itu. Sekarang ia sudah punya cukup uang untuk membayar iuran sekolah. Ia tersenyum lega. Sepintas kemudian, Emaknya berjalan tertatih-tatih sambil terbatuk-batuk.

“Nak, cari uang yang halal ya, biar hidup kita berkah,” ujar Emaknya dengan nada serak.

Sarto tercengang mendengar ungkapan itu. Seakan-akan emaknya dapat mencium bau haram di dompet Sarto. Tapi Sarto tidak menghiraukan. Ia hanya mengangguk, lalu beringsut keluar rumah. Sarto mengambil sepedanya dan meluncur ke jalan raya.

***

Pagi itu wajah Sarto lumayan sumringah. Ia sudah menyiapkan uang untuk membayar iuran sekolahnya yang sudah menunggak dua bulan. Ia tak perlu lagi takut dan pura-pura membuang muka saat bertemu Pak Jarot, bagian kemahasiswaan yang biasa mengincar dirinya.

“Sarto, kau dipanggil Bu Gina. Beliau ada perlu denganmu.” Ujar temannya saat berpapasan dengan Sarto di depan ruang kelas.

Di ruang guru, Bu Gina sedang duduk sambil mengoreksi sesuatu. Ia sudah menunggu kedatangan Sarto. Ia menyambut Sarto dengan sumringah. Senyumnya begitu ramah.

“Duduklah, Sarto.” Pinta Bu Gina.

“Ada apa memanggil saya, Bu?”

“Nanti ada tim redaksi lokal dan wartawan TV yang akan meliput tentang sekolah kita. Kamu sebagai perwakilan kelas XII persiapkan diri ya, jangan kagok kalau ditanya di depan mereka. Jangan lupa juga sampaikan prestasi dan kualitas sekolah kita.”

”Oh, baiklah, Bu.” Beberapa saat kemudian, Sarto keluar ruangan dan bergegas menemui Pak Jarot untuk melunasi iuran.

Sarto merogoh dompetnya. Dua lembar lembar seratus ribuan ia tarik dari dompetnya. Ia pandangi lamat-lamat sebelum menyerahkannya pada Pak Jarot. Matanya terpekur. Wajah Bung Karno dan Bung Hatta pada lembaran itu seperti memandang kesal wajahnya. Ia mengernyitkan dahi, mempertajam fokus dan melihat lebih teliti. Dua orang itu semakin kesal dan membentak Sarto. Haram!

Sarto terperanjat. Dua orang di uang kertas itu berbicara padanya. Ia langsung memberikan kartu iuran dan uang itu pada Pak Jarot, lantas berlari tergopoh-gopoh menuju kelasnya. Pak Jarot hanya terpelongo melihat tingkahnya yang aneh itu.

Sarto merogoh dompetnya lagi di sela-sela jam pelajaran. Lembaran hijau dengan wajah Sam Ratulangi ditariknya perlahan. Tidak-ada tanda-tanda. Bu Gina yang sedang mengajar saat itu terheran-heran melihat Sarto yang tidak memperhatikannya.

“Sarto, kamu sedang apa?” Tanya Bu Gina.

“Eh, anu Bu. Tidak apa-apa, kok.”

Wajah Bu Gina terlihat datar. Ia memandang tajam pada Sarto. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu.

Haram! Sergah Bu Gina padanya.

Sarto terkesiap. Wajah Sam Ratulangi dipandanginya kembali. Mulutnya seakan mencibir dan tertawa girang di lembaran hijau itu.

“Itu Haram!” Wajah di lembar rupiah itu juga ikut membentaknya.

Sarto meremas uang itu dan melemparnya ke arah Bu Gina. Ia lari pontang-panting ke luar kelas. Serentak teman kelasnya bergema.

“Itu Haraaammm.”

Sarto berlagak tak peduli dan lari meninggalkan kelas.

“Sarto!” Pak Jarot tiba-tiba memanggilnya dari arah ruang kepala sekolah.

“Ada apa pak?”

“Wartawan sebentar lagi tiba. Sebaiknya kamu tunggu di ruang tamu agar bapak tidak repot memanggilmu ke kelas”

“Baik, Pak.” Jawabnya berusaha tidak gugup.

Beberapa menit kemudian, seorang wartawan datang dan berjabat tangan dengan Sarto. Mereka memulai proses wawancara. Bertubi-tubi pertanyaan dijawab oleh Sarto dengan tenang.

“Apa saja penghargaan yang pernah diraih siswa-siswi sekolah ini?” Tanya seorang wartawan pada Sarto.

“Banyak sekali, Pak. Sekolah kami berkali-kali meraih kejuaraan OSN dan O2SN. Karya-karya ilmiah siswa di sini sudah banyak yang go internasional. Sekolah kami juga pernah mendapat penghargaan sebagai sekolah adiwiyata tiga tahun berturut-turut. Duta-duta di sekolah kami pun ada, mulai dari Duta Kesehatan, Pariwisata, Duta Batik, dan lain-lain.”

“Luar biasa. Semoga sekolah ini bisa terus memberikan yang terbaik. Terima kasih atas waktunya.”

“Sama-sama, Pak.” Sarto bangkit dan menyambut tangan wartawan itu.

Wartawan itu enggan melepas jabatannya. Ia terus menatap Sarto dengan senyum misterius sembari mengguncang-guncang telapak tangan Sarto. Genggamannya semakin erat.

“Itu haram, Sarto!” Wartawan itu tiba-tiba melontarkan kalimat yang sama seperti yang didengar Sarto sebelum-sebelumnya. Nadanya parau. Sarto terkejut. Ia bersikukuh melepas genggaman si wartawan, tapi tak kunjung berhasil. Sebuah asbak yang tergeletak di meja tamu akhirnya ia ambil, didaratkannya dengan keras ke pelipis wartawan itu. Ikatan tangan mereka lepas. Tubuh Sarto tersentak dan terjerembap. Saku celananya memuntahkan dompet lusuhnya. Uang haram itu berceceran di sekitarnya.

Uang-uang itu bergerak dan hidup seperti makhluk yang bangkit dari kematian. Mereka bereinkarnasi, berdiri serentak dan berkampanye menyerukan kata yang selama ini menghantuinya. Haram! Haram! Haram!

“Tolong… Tolong… Ampun…” Sepatu hasil curiannya menempel erat di atas lantai bagai dilumuri lem super. Sarto bersikeras melepas kakinya, namun tak kuncung bisa. Sarto tak berdaya. Ia menutup telinganya rapat-rapat, dan memejamkan matanya. Tak sanggup menghadapi hujatan uang-uang itu.

Seketika itu, Sarto terbangun dengan nafas yang tak beraturan. Keringatnya bercucuran. dipandangnya langit-langit dan semua perabot yang ada di sekitar kamarnya. Pintu kamar Sarto terbuka. Batuk Ibunya kembali terdengar kemudian. Ia menghela nafas, dan mengelus dada setelah sambil mengingat-ingat mimpi dalam tidurnya itu.

***

Hari ini, dengan segala tekad dan keyakinan, Sarto bergegas melangkahkan kakinya. Ia pergi ke sebuah masjid yang terletak beberapa blok dari rumahnya. Sesampainya di sana, ia diam sejenak, lalu mengeluarkan dompet berbau hangus miliknya. Dengan mantap, ia menarik semua uang lembar dan receh yang terselip di dalamnya.

“Sudah cukup kalian menghantui tidurku. Ini yang kalian inginkan, bukan?” Batin Sarto.

Ia pandang lamat-lamat lembar demi lembar uang itu sebelum akhirnya ia masukkan ke dalam kotak amal. Dari sisi-sisi kotak yang terbuat dari kaca, tampak wajah-wajah pada rupiah itu tersenyum padanya. Mereka menatap Sarto dengan sumringah. Sarto membalas senyum mereka, lalu menghembuskan nafas dengan lega.

 

 

Related posts

Leave a Comment

20 − seventeen =